“How does our relationship with meaning shape our life?”
Di dalam program Image, Intuition and Mature Understanding di awal tahun 2020 lalu ada sebuah kesadaran sederhana yang muncul, yakni membangun koneksi dengan berbagai hal di sekitar kita melalui observasi merupakan membangun harmoni dengan hidup kita sendiri.
Tapi ada satu hal lain yang saya rasakan, yaitu bahwa selama ini tampaknya saya memiliki sebuah keterikatan yang cukup tinggi dengan arti. Dan di dalam keterikatan ini ada sebuah ambisi yang sifatnya ingin cepat-cepat menuntut penyelesaian. I want to understand and it has to be now. Saya ingin cepat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dan saya harus tahu bagaimana saya harus bergerak dan harus apa di tempat lain. Karena dengan begitu hidup saya ‘mungkin’ lebih mudah atau ringan atau terukur.
Tapi yang terjadi tentu sebaliknya, semakin besar keyakinan bahwa ‘saya bisa’ maka semakin besar pula tuntutan kepada diri sendiri, muncul righteousness dan judgement yang kencang. Life does not unfold widely, deeply and rich, justru semakin sempit dan menghambat sehingga merasa stuck, “Lho, kok masih disini-sini saja ya?” Ternyata ini adalah ilusi yang berputar menjadi viscious cycle dan bukan mengarah ke pertumbuhan namun terjebak dalam stagnansi. Bukan tempat yang sehat untuk menumbuhkan intuisi dan terkoneksi dengan cara kerja semesta.
Apa yang saya pelajari dari pengalaman tersebut? Ada tiga hal, yaitu keterbukaan pada flow, pada waktu (bukan kecepatan) dan pada momentum. Ketiga hal ini tidak bisa diprediksi, tidak berbentuk dan membutuhkan ‘menunggu’. Menunggu bagaimana? Menunggu dengan terbuka dan percaya pada kemampuan diri bahwa pada waktunya akan mengerti di saat yang paling tepat, yang mana tidak tahu kapan. Biasanya pada momen pengertian itu datang kita baru sadar, “Oh, ini maksudnya. Sekarang saya mengerti.”
Read related article To Live Is To Integrate
Comments